Eksklusif Garin Nugroho Luwes Menyikapi Perubahan Teknologi di Perfilman Indonesia
Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sutradara Garin Nugroho kembali merilis film terbarunya yang berjudul Kejarlah Janji yang mengajak beberapa aktor-aktor bertalenta Indonesia seperti Cut Mini, Ibnu Jamil, dan Shenina Cinnamon. Film yang bekerja sama langsung dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sengaja dibuat untuk memberikan pengetahuan terhadap masyarakat terkait dengan masa-masa pemilihan umum (Pemilu) yang sebentar lagi akan dirayakan oleh bangsa Indonesia.

Saat berkunjung ke kantor VOI, Garin Nugroho secara khusus menceritakan mengenai perjalanan hidupnya hingga harapan terbesarnya di dunia perfilman Indonesia. Pemilik nama asli Garin Nugroho Riyanto ini menceritakan bila ia lahir dari keluarga yang tidak jauh-jauh dari dunia seni.

Ayahnya merupakan seorang penulis dan kedua kakaknya bersekolah di jurusan Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Meski begitu, ayah Garin berpesan untuk tetap memiliki ilmu-ilmu umum, bukan hanya keterampilan saja.

“Ya masa kecil saya di Jogja ya. Keluarga saya itu penulis. Bapak saya penulis, percetakan buku, kakak dari Seni Rupa ITB, dua, jadi, tempat rumah untuk nari. Jadi, ruang seni itu ada semua. Tapi kan di rumah keluarga selalu harus ada punya istilahnya belajar ilmu-ilmu umum tapi belajar keterampilan, Bapak hanya mensyaratkan itu. Kamu mau belajar hal umum, tapi juga punya keterampilan. Itu dasar dan banyak membentuk ya,” ujar Garin Nugroho di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis, 14 September.

Perjalanannya dalam memilih film sebagai tambatan hatinya ternyata bukan jalan yang mudah untuk dijalani oleh seorang Garin Nugroho. Ia mengaku bila saat kecil ia sudah mencoba berbagai macam keterampilan yang sekiranya bisa dijadikan talenta untuk dirinya sendiri. Saat duduk di bangku SMP, Garin sudah berani mengirimkan tulisannya ke majalah anak-anak yang pada zaman itu tentu sulit untuk dilakukan oleh anak-anak sebayanya.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Tak ingin menyerah, akhirnya ia mencoba untuk mencari keterampilan lain yang mungkin bisa ia tekuni. Garin akhirnya mencoba untuk mengikut jejak kedua kakaknya di dunia seni rupa yaitu menggambar. Sayangnya, mau menekuni menulis ataupun menggambar Garin selalu mendapatkan kritik baik dari ayahnya maupun kedua kakaknya, hal ini yang akhirnya membuat pria peraih Piala Citra untuk Sutradara Terbaik ini memilih film yang pada zaman itu adalah hiburan di luar rumah baginya sejak kecil hingga dewasa.

“Waktu kecil kamu harus berpengetahuan, kamu harus terampil. Terampil kan dicari. Keluarga saya pintar menulis. Malas menulis itu, saya waktu kecil udah nulis di majalah-majalah anak-anak, itu aja dikritik, padahal untuk masuk ke majalah anak-anak itu susah sekali, gambar istilahnya gambar kartun untuk majalah Astaga, itu majalah nomor satu lho untuk anak yang masih SMP, itu prestasi, tetap dikritik karena kakak-kakaknya seni rupa, lalu mencari jalan sebuah medium ekspresi yang kira-kira keluarga itu tidak punya, lalu lahirlah film, enaknya anak saya lebih bagus lagi, kan, Kamila, dan sebagainya jadi kemudian lahirlah jadi keluarga beragam seni dan pengetahuan,” lanjutnya.

“Karena setiap memilih disiplin yang lain dikritik kakak-kakak. Bikin lukisan dikritik, bikin tulisan dikritik lama-lama akhirnya pilih yang lain. Pada waktu itu film populer ya, di masa kecil saya film satu-satunya hiburan di luar rumah, di luar TVRI, jadi film adalah anak emas di saat saya tumbuh remaja dan dewasa. Dari SD malah,” tuturnya.

Bukan hanya jatuh cinta pada pandangan pertama saja pada dunia film, Garin akhirnya memutuskan untuk memperdalam ilmunya terkait film hingga ke pendidikan, di mana ia menempuh pendidikan film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Di mana pada tahun 1981 ia sudah membuat karya sebuah film pendek dan berlanjut hingga ke film berdurasi lebih panjang setelah lulus kuliah.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

“Kemudian sekolah di Loyola Semarang, banyak sekali ikut teater, kemudian masuk ke Gadjah Mada atau IKJ, akhirnya pilih IKJ. Dan kemudian, sekolah film, lalu mulailah dari tahun 81 bikin film pendek gitu dan kemudian membuat cerita panjang itu setelah lulus, tahun 90, 91, ketika film Indonesia krisis semua ya, hampir nggak ada film, saya bikin Cinta Sepotong Roti sampai Daun Di Atas Bantal yang pertama kali di kans, dan lain sebagainya. Secara garis besar seperti itu,” sambung nya.

“Film pertama yang hilang itu judulnya Cintaku Lewat Didepan Rumah soalnya jatuh cinta sama tetangga, cuma mengisahkan tetangga itu lewat terus, terus yang jadi belum itu tahun 85 sebenarnya itu bikin film ‘Gerbong 1, 2, 3’ itu masih ada filmnya, itu semacam essai, tentang pertemuan laki-laki dan perempuan di stasiun kereta. Lalu kemudian bikin film pendidikan, lalu film dokumenter, lalu film beragam seluruh peta industri audiovisual itu saya coba,” imbuhnya

“Tahun 95 itu saya bikin dokumenter anak seluruh pulau di TV, bikin iklan-iklan kayak Gudang Garam, terus bikin studio musik kayak Negeri di Awan Katon, Chrisye, terus bikin jadi seluruh peta di puncak periode, kayak tahun 95 saya coba, lalu di tahun sekarang kan juga puncak media baru, makanya saya coba bikin siklus yang pakai kamera handphone, vertical cinema, lalu supervisi untuk YouTube kayak Payung Fantasi untuk bikin karya untuk Netflix, Perfect F untuk sutradara Hadra. Lalu bikin panggung, jadi seluruh peta periode itu saya coba semua,” katanya.

Sudah berkarya sejak tahun 1980-an hingga saat ini, berbagai periode pertumbuhan teknologi di dunia perfilman sudah dirasakan oleh ayah dari empat orang anak ini. Meski begitu, Garin mengatakan bila perubahan khususnya di dunia teknologi perfilman itu sudah pasti terjadi, mau atau tidak mau.

Yang terpenting bagi Garin sebagai seorang sutradara adalah tetap berfokus pada pemanfaatannya dan konten pada manusia yang diceritakan di dalam setiap filmnya.

“Teknologi itu pasti berubah, nggak usah sombong-sombong amat. Kalau misalnya saya generasi TV, terus saya ngomong ‘Kamu kalau nggak masuk TV, kamu nggak bisa hidup’ kemudian di generasi media baru, ya enggak itu biasa aja. Penemuan teknologi untuk melayani manusia itu hal yang nggak ada yang luar biasa, yang luar biasa itu bagaimana memanfaatkan untuk manusia, kreatifitas. Tapi kalau perubahan itu ya saya mengalami, dari radio gede ke kecil, dari transistor lalu ke TV, TV analog ke TV digital. Kamera dari 8 milimeter sampai 35 mili lho saya lalu apakah ada yang lebih penting? Ya nggak ada,” terangnya.

“Setiap penemuan teknologi membawa perubahan dan bagaimana kita memberikan konten kemanusiaannya, nggak ada cara lain tapi tidak mungkin. Sudah bosan, pada waktu kamera nih, video, ‘Tanpa video kamu nggak bisa hidup, generasi sekarang’ nanti kalau di media baru, ‘Sekarang tidak mengerti generasi ini dengan ini’, saya cuma ‘Hmmm’. Itu kalau Anda jadi mengerti kehidupan, perubahan itu biasa saja. Yang luar biasa itu pemanfaatannya bagi kemanusiaan. Bagi kreasi, bagi produktivitas, bagi sifat kritis itu saja,” jelasnya.

Terus Beradaptasi

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Pria berusia 62 tahun ini mengakui bila mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan setiap perubahan teknologi di dunia perfilman. Tapi baginya, hal ini menjadi sebuah keuntungan karena meski harus terus beradaptasi namun ia sekaligus belajar pada hal-hal baru seperti yang terjadi pada kehidupan setiap manusia. Oleh karena itu, Garin menyampaikan bila setiap pembuat film harus selalu mampu untuk kembali ke titik nol setiap periode perubahan teknologi di industri film.

“Ya pasti. Jadi kayak orang menyebut saya ladang berpindah ya, kayak menanam tanaman saja, di setiap tempat tanah nya beda, ekosistem nya berbeda ya harus belajar. Kayak sekarang kamu, saya saja tidak pernah menggunakan handphone untuk membeli sesuatu karena belum memutuskan mau, karena nanti akan tergoda untuk beli macam-macam, jadi saya betul kalau saya harus memakai smartphone saya untuk membeli sesuatu, saya tahu, saya orang yang kalau malam tidak bisa tidur nanti beli macam-macam, ya lihat kegunaannya saja, kalau nggak ya udah, tapi maksud saya pasti ada penyesuaian.

Setiap orang dilatih untuk adaptasi, seperti perjalanan hidup manusia, dari kecil jalan, jatuh, bangun, jatuh. Nanti tahun segini adaptasi lagi, oh bisa lompat, harus bisa baca, harus bisa ini, adaptasi lagi jadi adaptasi dengan teknologi dan ekosistemnya baru ini,” ucapnya.

“Jadi misalnya saya produksi, ‘Oh kalau ikut Netflix atau OTT besar tuh sistem industrinya gini, sistem penyimpanan datanya begini’ ‘oh kalau vertical cinema’ kalau bikin siklus itu, sama Agni itu, ‘Oh vertical cinema berarti kalau apa yang buat frame dan estetika komposisi itu tidak lagi kanan kiri tapi atas bawah’ lau editing nya ada lompatan pada bentuk vertical, makanya seorang pembuat film harus kembali ke tiap periode dari nol. Dan itu harus jadi keindahan yang wajar-wajar saja, tidak ada sesuatu yang harus wah generasi ini lebih bagus, tidak ada. Setiap generasi membangun dirinya dan juga gagap pada dirinya,” ujarnya.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Hal ini juga yang akhirnya membuat sutradara film Kucumbu Tubuh Indahku ini tidak pernah bosan dalam membuat karya di dunia film. Ia menjelaskan lebih kepada rasa kesal terhadap perubahan yang terjadi. Sebab itu, Garin selalu berusaha untuk terus mencari ide-ide menarik yang akan ia tuangkan ke dalam bentuk audio visual agar karyanya tidak melulu di isu-isu atau genre yang selalu sama meski harus melalui jalan yang tidak selamanya mulus.

“Ya makanya, kalau bosan lebih kepada aspeknya melihat banyak alat, banyak orang kadang-kadang membosankan, kesal, bukannya bangga. Saya bangga dengan 206 kru, atau 205 kalau saya, ‘Ya Tuhanku’, sudah kesal. Belum lagi hunting di produksi besar itu hunting saja 25 orang, sudah kesal, sudah jenuh. Tapi makanya tidak ingin membuat produksi yang mengulang, karena kalau mengulang itu menimbulkan kebosanan,” terangnya.

“Selalu ada tema baru, cara baru ini baru yang membuat saya berpikir, karena kalau baru, kita melakukan perjalanan kan? Kalau kita naik gunung dari tempat yang sama, naik, pastikan lebih cepat, lihat pemandangan yang sama. Saya tidak terlalu suka itu, saya lebih suka ‘Oh dari gunung, dari sisi lain, lihat pemandangan baru, pasti jatuh-jatuh, kepleset-kepleset ya nggak apa-apa’, kita kemudian berpikir baru, malah saya walau diiming-iming, ‘Oh film itu komersil bagus, Mas Garin, ulang lagi ya?’ Nggak mau, ngapain mengulang yang sama? Gitu kan. Lebih baik adrenalin kita dibangun untuk yang seperti tadi, ‘Gunung itu ada berapa sisi? Kenapa harus cepat?’ ‘Kan Mas Garin harus cepat’, ‘Saya nggak ngejar cepat, saya ngejar perjalanan baru dan pemandangan baru’, gitu,” jelasnya.

“Walau kemudian agak susah ya mencari sponsor, mencari ini, misalnya bikin yang disebut horor, kalau horor dibikin tradisional pasti laku. Udah tau lah kita semua, tapi kalau horor itu pemainnya horor cantik, suspend, terus sukanya puisi, sukanya musik metal, terus strukturnya beda dengan yang lain pasti kurang laku. Masa horor kok puisi, metal, tapi ya saya suka itu, membikin saya ada adrenalin baru, kalau mengulang yang sama, buat apa hidup kalau mengulang yang sama, yang semua orang sudah mengonsumsi, buat saya membosankan,” ucapnya.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Akhirnya keresahan inilah yang menjadi harapan terbesar dari Garin Nugroho di dalam dunia perfilman Indonesia. Pria yang mendapat julukan sebagai ‘Guru keliling’ ini ingin ada tiga hal penting yang terjadi pada industri film yaitu keberagaman, kebaruan, dan membangun pasar yang tentu saja diiringi dengan sebuah pertumbuhan juga. Baginya hal ini akan menjadi sesuatu yang menarik bagi para penikmat film kedepannya.

“Ya sebetulnya yang saya harapkan adalah keberagaman, kebaruan dan membangun pasar yang juga sangat beragam jadi ada semacam keberagaman, kebaruan dan pertumbuhan, 3 itu saja. Jadi kalau ada keberagaman pasar, ada keberagaman ide, ada cara tutur, kemudian ada keberagaman penonton, dan ada keberagaman kebaruan," katanya.

"Jadi, misalnya genre horor ya horornya bagus-bagus kalau mengikuti selera, tapi membentuk horror jenis tertentu kan gitu kan KPop itu kan kebaruan, membentuk sesuatu yang baru, jadi harapan saya hidup menjadi menarik dengan adanya keberagaman dan kebaruan dalam berbagai hal di film, disertai dengan pertumbuhan. Gitu,” jelas Garin Nugroho menutup perbincangan dengan VOI.